Punk di Indonesia
Oleh Rendra Fatrisna Kurniawan
Banyak yang berpendapat, termasuk para pengamat, sarjana antropologi, bahkan para aktivis punk sendiri, bahwa kehadiran punk di Indonesia bukan karena gejolak sebagaimana awal kemunculannya di daerah asalnya di Inggris ataupun di Amerika. Subkultur punk dan variannya dikenal pertama kali di Indonesia sebagai sebuah bentuk musikal dan dan fashion statement.
Menurut Yasraf Amir Piliang dalam Beyond the Barbed Wire (2005) punk lahir tanpa subtansi sejak awal. Ia tidak lahir dari sebuah bentuk resistensi, melainkan dari sebuah kerinduan akan sebuah bentuk representasi baru saat ada tak hal lama yang dapat merepresentasikan diri kita lagi. Maka tidak mengherankan apabila hal-hal yang subtansial baru hadir bertahun-tahun setelah punk dikenal secara musikal dan dalam konteks fashionnya. Ini adalah sebuah keterlanjuran.
Pendapat yang dikemukakan Yasraf tersebut sebenarnya merupakan tanggapan dari tulisan KoAing dalam Subciety Record Newsletter Vol.1 yang diterbitkan Agustus 2005 berjudul ”Perlukah Resistensi Menguak di kalangan sendiri?”. Namun apa yang disampaikan Yasraf tersebut bukan tanpa pengamatan yang panjang. Kenyataannya, di Bandung, punk secara musikal telah dikenal sejak akhir tahun 1970-an, tidak lama setelah awal kemunculannya. Hal ini pernah dibahas dalam majalah remaja HAI di era tahun 1980-an, kemudian gaya berpakaiannya pun diadopsi kelompok-kelompok preman jalanan. Baru pada akhir 1980-an bermunculan kelompok-kelompok punk dari kalangan kelas menengah karena saat itu hanya mereka yang memiliki finansial tinggilah yang memiliki akses informasi terhadap produk kultural ini. Pada pertengahan tahun 1990-an, hal-hal subtansial tentang apa sebenarnya subkultur ini mulai hadir ke permukaan. Apabila kita melihat perkembangan pengenalan subkultur punk tersebut di Indonesia, maka kita tidak bisa menganggap apa yang disampaikan Yasraf adalah sekedar omong kosong. Pendapat itu pun didukung oleh Widya G (2010), dia juga berpendapat masuknya ke Indonesia merupakan berkat pemberitaan media mainstream, dan dikenal pertama kali dalam bentuk musik dan fashion.
Berbagai argumen yang disampaikan melalui email oleh Yasraf tentang subkultur punk cukup menuai perdebatan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang disampaikannya cukup menarik untuk dikaji, cerdas, dan provokatif. Dalam tulisannya, Yasraf menyimpulkan kehadiran (sub) kultur punk di Indonesia tanpa hal-hal yang substansial, lahir sebagaimana produk posmodern lainnya, yakni muncul tanpa esensi. Ada cukup banyak hal yang mendorong terjadinya hal ini, antara lain karena gap bahasa, yang menurut Yasraf nyaris tidak ada anggota subkultur ini yang mampu berbahasa Inggris dengan baik. Namun pendapat Yasraf lemah untuk diberlakukan di masa sekarang, mengingat saat ini banyak anggota subkultur punk yang justru berasal dari kalangan intelektual.
Yasraf menyebut gap berikutnya adalah ekonomi, punk di Indonesia didominasi oleh remaja yang secara finansial cenderung aman, para remaja kelas menengah yang masih memiliki harapan mapan di masa depan. Sangat berbeda dari asal mula munculnya subkultur ini.
Dalam ulasan di berbagai media, banyak bermunculan pendapat mendukung apa yang dikemukakan Yasraf. Kelahiran Punk di Indonesia tidak memiliki sejarah panjang sebagaimana di negara asalnya, sehingga sangat wajar apabila hanya musik dan fashionnya saja yang kemudian diadaptasi. Karena, kelahiran Punk di Indonesia bukan sebagai bentuk tanggapan atau perlawanan terhadap suatu kondisi tertentu, tetapi lebih sebagai bentuk imitasi.
Pendapat yang berbeda menyatakan kemunculan punk di Indonesia memang berbeda dari negara asalnya, akan tetapi kemunculan punk di Indonesia adalah karena keinginan untuk mencari sesuatu yang baru sebagai aktualisasi para remaja. Dalam salah satu ulasan Cakrawala Newsletter yang diterbitkan Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang (2005), Punk disebut sebagai sebuah semangat untuk menghadapi hidup dengan kreativitas tinggi. Semangat untuk perubahan, ketidaktergantungan, proses kreatif dan peduli terhadap politik.
Banyak para remaja yang bergabung dalam komunitas punk memiliki pandangan positif, misalkan saja cerita salah seorang pemuda yang bergabung dalam komunitas punk di kota Malang bernama Sony. Menurut Sony meskipun penampilan punk terlihat berbeda, aneh, lusuh namun bukan berarti tingkah laku dan perbuatan mereka juga buruk. Sony berpendapat apabila ada seorang yang terlihat secara fisik seperti punk namun melakukan tindakan kriminal, berarti dia bukan lah punk melainkan preman.
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara punk dengan preman. Preman yang dimaksudkan disini bukanlah free-man yang artinya orang bebas atau masyarakat sipil, swasta, partikelir, nonpemerintah, bukan tentara, melainkan preman di sini dikonotasikan sebagai sebutan bagi orang jahat, yang suka memeras dan melakukan tindakan kriminal.
Menurut Widya G (2010) punk yang menciptakan perubahan, gaya hidup, komunitas, dan budaya sendiri juga berlaku di Indonesia bahkan cukup marak. Widya G (2010) mencontohkan komunitas Taring Babi, salah satu komunitas anak-anak punk dari Jakarta Selatan yang suka bersosialisasi. Mereka jauh dari kesan menyeramkan. Meski bergaya punk, mereka suka melakukan kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar, seperti menyablon, melukis, cukil kayu, membuat souvenir, atau belajar membuat tatoo. Mereka sering menerima order membuat tatoo dan sengaja tidak mau dibayar dengan uan, tetapi dengan beras. Lalu beras tersebut mereka bagi-bagikan kepada warga sekitar yang kurang mampu.
Contoh lain, komunitas Klaker Barmy Army, merupakan komunitas anak-anak punk dari kota Malang yang juga kerap kali mengadakan kegiatan pemuda dan sosial kemasyarakatan. Diantaranya mengajarkan ketrampilan menyablon dan membuat design komunikasi visual pada masyarakat sekitar, berbagai kegiatan apresiasi seni musik, lukis, tatoo, maupun kegiatan penghijauan dan penggalangan dana untuk korban bencana alam.
Tidak ketinggalan pula komunitas punk dari kalangan mahasiswa, Aspirasi Crew yang merupakan bagian dari OPIUM, salah satu organisasi seni di Universitas Negeri Malang. Mereka juga sering menggelar kegiatan-kegiatan sosial, termasuk penggalangan dana bencana alam, kampanye persamaan hak dan semangat solidaritas, sampai dengan kampanye terkait isu Pemanasan Global atau yang lebih dikenal Global Warming.
”Kami menggelar berbagai kegiatan untuk komunitas punk dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, sampai dengan mereka yang benar-benar hidup di jalanan. Kami ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa komunitas punk, meski dengan dandanan yang nyeleneh, lusuh, aneh, norak dan berbeda. Namun mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi, bahkan daripada mereka yang berbaju necis dan berdasi. Kita ingin mengajak masyarakat untuk tidak terburu-buru menilai sesuatu hanya dari kulit luarnya saja, namun lebih pada isi di dalamnya,” papar Nonok, ketua OPIUM periode 2006-2007.
Dari beberapa fenomena diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa masuknya subkultur punk ke Indonesia tidak diadopsi secara mentah begitu saja, namun telah mengalami proses akulturasi. Sehingga kita tidak bisa membandingkan dalam pengertian sempit, subkultur punk di negara asalnya, baik itu di Inggris maupun di Amerika dengan subkultur punk di Indonesia Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) akulturasi itu sendiri diartikan sebagai percampuran dua kebudayaan atau lebih, misal percampuran kebudayaan Cina dengan kebudayaan Jakarta, percampuran budaya Hindu-India dengan budaya masyarakat Jawa, kemudian budaya Hindu-Jawa dengan Islam; Akulturasi juga dapat diartikan proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat dengan penyerapan sebagian (kecil sekali), penyerapan yang agak banyak atau penolakan sama sekali terhadap kebudayaan asing itu; atau proses pertemuan kebudayaan yg tampak dalam penggunaan bahasa yang ditandai dengan penyerapan atau peminjaman kata-kata, bahkan timbulnya bilingualisme.
Suatu budaya yang telah diakulturasi ke suatu daerah yang lain tidak dituntut untuk harus sama persis dengan asalnya, baik mulai dari awal kemunculannya maupun dalam perkembangannya, namun budaya tersebut kemudian dapat berkembang sesuai dengan situasi, kondisi, politik, maupun potensi di daerah yang didatangi namun tanpa melupakan esensi yang terkandung di dalamnya.