FENOMENA PUNK, TINJAUAN ILMU KOMUNIKASI

Oleh Rendra Fatrisna Kurniawan

Ketika melintasi pertigaan atau perempatan jalan, pandangan mata kita sering tertuju pada sekelompok pemuda berpakaian dan bergaya aneh yang tengah bergerombol di tepi jalan, di bawah pohon rindang, di trotoar-trotoar. Mereka biasanya ditemani sebuah gitar yang penuh dengan tempelan stiker, kadang tercium pula aroma alkohol. Sekali lagi perhatian kita tertuju pada objek-objek sepele yang mereka tunjukkan, tindik di cuping telinga maupun di hidung, celana ketat, jaket kulit, sepatu boots, rantai, spike atau rambut yang dipotong mohawk ala suku Indian dan diberi warna-warna terang. Mereka mengidentifikasi diri sebagai punker.

Pertama kali saat melihat mereka, apa yang terlintas di pikiran kita? Aneh. Menakutkan. Liar. Mengganggu kenyamanan. Mungkin juga biang keonaran. Dan masih banyak lagi berbagai persepsi negatif sering kita tujukan kepada mereka. Persepsi adalah proses memilih, mengkategorikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kemudian mempengaruhi perilaku kita. Apakah persepsi negatif yang kita tujukan kepada mereka adalah salah, tidak sepenuhnya demikian, kita mungkin hanya terlalu cepat untuk memberikan penilaian kepada mereka. Namun bagaimana pun budaya mempengaruhi persepsi kita atas segala sesuatu, sedangkan apa yang ditunjukan oleh para punker itu kepada kita memang tidak lazim atau berbeda. Itulah sebabnya wajar apabila kita memiliki persepsi negatif atas keberadaan mereka.

Disisi lain, persepsi tentang bagaimana menjadi punk itu sendiri juga sering disalahpahami oleh sebagian generasi muda yang menyebut dirinya punker. Sebagian pemuda itu berpendapat dengan berpakaian ala punk, ditemani nyanyian Johny Rotten (Sex Pistols) setiap akan tidur, dan setiap pagi dibangunkan oleh musiknya Exploited, lalu muncul di jalan dengan dandanan rambut mohawk, jaket penuh berbagai macam model pin, celana jeans penuh tambalan dan sepatu boot usang yang setia menemani, ditindik, ditato, maka mereka sudah berhak menjadi punker.

Sebagian pemuda ini mengartikan punk sebagai hidup bebas tanpa aturan. Pemahaman tidak tepat dan setengah-setengah inilah yang mengakibatkan banyak dari mereka kemudian melakukan tindakan yang membuat resah masyarakat. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah minum-minuman keras di muka umum secara bergerombol, bahkan ada yang meminta uang secara paksa kepada masyarakat yang melintas di depan mereka meski dengan jumlah yang tidak banyak.

Masyarakat yang awam mengenai punk kemudian menarik kesimpulan bahwa punk adalah segerombolan pemuda yang berperilaku negatif. Dandanan mereka yang dianggap nyeleneh itu bagi sebagian besar masyarakat dianggap menyimpang, dicela, bahkan diperlakukan sekali waktu sebagai segerombol badut jalanan, perusuh, yang mengganggu keindahan kota dan lain kali sebagai ancaman bagi ketentraman dan ketertiban umum, kriminal kelas rendah, pemabuk berbahaya. Apalagi dengan musik hingar bingar dengan lirik yang berisi kritikan kasar, kecaman, dan perlawanan semakin menyempurnakan miringnya persepsi masyarakat tentang punk. Bahkan ada pula yang menganggap punk hanya sekedar aliran musik keras. Padahal apabila kita mau mengupas lebih dalam tentang apa yang dimaksud dengan punk, itu semua bukanlah cerminan dari punk sebenarnya. Dengan kata lain kita dan sebagian mereka yang menyebut dirinya punker hanya melihat kulit luarnya saja. Memang juga banyak para punker yang benar-benar menerapkan sejatinya punk, namun stigma yang terbentuk dari apa yang ditunjukan oleh sebagian pemuda yang mengaku sebagai punker namun tidak memahami arti sebenarnya punk di masyarakat telah membuat stereotip, yaitu penyamarataan atas sekelompok orang dengan mengabaikan ciri-ciri mereka yang individual.

Permasalahan disini adalah komunikasi yang tidak efektif karena persepsi yang tidak akurat antara para punker dengan masyarakat. Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai realita disekelilingnya, ditentukan oleh nilai-nilai sosial dimana seseorang itu berada. Itulah kenapa perbedaan yang ditunjukan oleh para punker itu dianggap menyimpang, selanjutnya dengan mudah dinilai negatif oleh masyarakat, karena kita memang memiliki kecenderungan untuk bersikap etnosentris, yaitu menggunakan cara pandang budaya kita sendiri untuk melihat atau memaknai segala sesuatu